Saat Tahun 1438H, dimulai saat bulan Rajab, kita selalu berdoa “Allahumma Barik lanaa fi rajab wa sya’ban wa ballighna Ramadhan”
Saat tiba Bulan Ramadhan, ada yang betul2 memaksimalkan untuk “mentarbiyah” diri ada juga yang setengah2 ada jg yg acuh tak acuh.
Setelah Ramadhan, rasa2nya nyaris tak ada yang berubah. Jika pun ada perubahan, umumnya hanya perubahan peningkatan Ubudiyah (Hablum Minallah), namun sisi Sosial (Hablum Minannas) nya nyaris tak terasa. Kita masih kembali pda kebiasaan saling mencaci, membully, dan menghina.
Akhirnya, muncul lagi lah kerinduan akan datangnya Ramadhan... dg harapan bisa melatih diri kembali menjadi Hamba yang Mulia.
Saat bertemu lagi dg bulan Rajab 1439 H, doa yang sama pun kembali dilafazkan, hingga Ramadhan pun tiba, kita semua berbondong2 lagi untuk memperbaiki kualitas Ibadah kita. Berusaha menjaga diri dari hal2 yang dapat merusak nilai ibadah kita.
Hingga Ramadhan pun berakhir, kita berlebaran di Tahun 1439 H, semua kita kembali mengucap kata Maaf, saling meminta dan memberi maaf.
Sayangnya, semua itu hanya bisa bertahan hingga Stok Opor Ayam, Ketupat, Buras, dan Kue Lebaran menipis. Hubungan silaturrahmi yg dibangun kembali melalui kata “Maaf” itu makin hilang seiring habisnya sajian2 ini selama lebaran.
Semua kembali lagi seperti tahun2 sebelumnya, hubungan kepada Tuhan bisa jadi banyak yang lebih baik, namun lagi2 aspek sosial (ukhuwah Insaniyah) kembali luntur. Lagi2 kita kembali saling mengujar kebencian, saling mencaci, mencibir dan saling memaki.
Meskipun, perlahan juga diri kita sadar bahwa apa yang dilakukan itu salah. Perlahan kita jujur pda diri sendiri bahwa apa yg kita lakukan adalah keliru, kita merasa perlu untuk memperbaiki diri kembali.
Maka, ooooh Rasa Rindu akan Ramadhan semakin tak tertahankan. Bulan rajab pun kembali menyapa duluan, Hingga Doa yang sama pun kembali kita ucapkan. “allahumma barik lana fi rajab wa sya’ban wa Ballighna ramadhan”
Ramadhan 1440 H pun datang menghampiri..
Semua pun akhirnya senang, berharap dengan Puasa dan Segala Amaliyah Ramadhan yg kita tunaikan dapat membersihkan segala Dosa2 yang melekat pada diri kita...
Segala cara telah kita lakukan agar kita bisa “mengalihkan perhatian” Tuhan kepada kita, dg harapan Tuhan bisa mencintai kita, dan mengampuni segala Dosa2 kita.
Hingga, Idul Fitri pun tiba...
kemarin pun kita mulai berlebaran...
Kita kembali merasa bersih dari Dosa, kita merasa sudah kembali pada Fitrah, kita merasa kembali seperti kertas putih yang polos.
Semua pun berlomba2 menyampaikan Maaf. Meminta dan saling memberi Maaf... sebagai menu pelengkap segala Ibadah kita selama Ramadhan, seakan2 semua sudah berakhir dengan adanya kata “Maaf”.
Sayangnya, fenomena Memohon dan Memberi Maaf ini rasa2nya tidak lebih dri sekedar Kata, tidak lebih dri sekedar tulisan indah, Apalagi kata “Maaf” itu hanya tersampaikan lewat Corong2 Media Maya.
Akhirnya, Kejadian berulang pun kembali, bahkan lebih parah lagi, belum genap 2 Hari kita berlebaran, sajian lebaran pun masih banyak yang Hangat,
Namun, Yang tadinya sudah meminta maaf, lagi2 kembali melakukan hal2 serupa dg Tahun sebelumnya. menebar Kebencian, mencaci Ulil Amri, menyinggung kawan yg berbeda Pilihan Politiknya, melakukan provokasi, dsb.
Maka Bagi saya, hari ini kata “Maaf” hanyalah sebatas Euforia sesaat di Media Sosial yang sangat Hambar.
Ini tidak jauh beda, dengan janji2 Manis seorang Pria kepada perempuan yang sudah sangat lama menantinya datang mengkhitbahnya, namun ia tidak jua menampakkan kelelakiannya.
Bahasa lainnya:
“Singkamma ji”, “Padamui”, “Podo Ae”,
Baldan Nur Baharrudin
Makassar, 2 Syawal 1440H