-->
Cahaya Ilmu, Penenang Qolbu

Mecari cahaya dalam cahaya

Life At Its Best (Puncak Kebahagiaan) Bagian - 2


Kalau dalam tulisan pertama, saya “berteori” tentang dua puncak kehidupan manusia, maka kemarin saya berjumpa dengan seorang yang belum terlalu lama saya kenal yang memiliki kisah hidup persis yang saya ceritakan. Dalam hal ini, puncak hidupnya adalah di titik terbawah kehidupannya.
Sebut saja namanya pak Panca. Umurnya belum lima puluh. Secara usaha dia cukup sukses. Ia memiliki beberapa perusahaan. Pak Panca termasuk workaholic. Ia tak gampang menyerah. Ia sangat percaya diri. Tetapi semua itu tidak membuatnya bahagia. Pernikahannya hancur. Lebih dari sepuluh tahun ia berpisah dengan istrinya. Bahkan ia sudah menjalin hubungan dengan wanita lain.

Suatu kali temannya mengajak ia mengikuti suatu seminar. Awalnya ia menolak. Namun temannya tidak pernah putus asa. Temannya terus membujuk dengan mengatakan ini seminar bagus. Namun pak Panca bersikeras menolak. Ia menuduh temannya mendapat keuntungan dari mengajaknya. Temannya tidak putus asa. Akhirnya pak Panca menurut. Seminar sesi pertama dia ikuti. Ternyata bagus. Ia terus mengikuti sampai sesi ke-3. Pada sesi ke-3 para peserta diminta membuat komitmen. Ia pikir-pikir, ia mau buat komitmen yang mudah saja. Menurutnya, yang paling mudah ada komitmen kesehatan. Ia mau periksa kesehatan. Setelah semua proses general check up selesai, ia menunggu sambil duduk di depan klinik THT. Alih-alih kesal menunggu, ia akhirnya juga memeriksakan diri di klinik THT. Apa dinyana, ternyata dokter menemukan benjolan besar di belakang hidung. Hasil biopsi menyatakan itu positif KNF stadium 3.
Mulailah pak Panca mengarungi hidup yang menuruni bukit terjal. Ia menjalani pengobatan berbulan-bulan. Karena tidak berdaya sendirian, ia meminta tolong istrinya mendampingi. Istrinya ternyata bersedia. Dalam suatu kondisi yang sangat berat, setelah menjalani radiasi di atas 25 kali, ia mendapat semacam penglihatan. Dalam penglihatan itu, ia diperlihatkan tentang dosa-dosa yang diperbuatnya. Ia merasa, kalau di dunia ini saja ia sangat menderita karena sakitnya, apalagi di dunia sana. Berikut saya kutipkan kata-kata asli dari pak Panca dengan sedikit editing:
“Setelah mendapatkan penglihatan tentang beratnya hukuman atas dosa, saat itu saya merasa sungguh tidak berdaya. Saya merasa tidak bisa kuat bertahan lagi. Saya tahu persis kematian sudah di depan. Sangat terasa dan nyata. Ibarat melihat logo batterai hp yang sudah menyala merah. Saya meminta maaf kepada istri. Dengan sepenuh penyesalan dan merasa bersalah saya mohon maaf. Istri saya dengan tulus memaafkan saya. Ia mengatakan selama ini selalu mendoakan saya bahkan berdoa puasa 40 hari hanya makan hanya satu kali sehari. Saya merasakan suatu keajaiban. Tiba-tiba saya merasa hidup kembali. Batterai hp yang sudah merah tiba-tiba langsung menjadi setengah. Saya juga menghubungi satu demi satu kenalan dan meminta maaf atas semua kesalahan saya. Sejak itu, saya merasakan semangat hidup semakin naik sedikit demi sedikit. Saya mengalami sepenuh hati dan tulus memaafkan semua yang pernah mengecewakan saya. Perlahan saya pulih. Sampai waktunya pemeriksaan, saya dinyatakan sembuh.”
Pak Panca menambahkan bahwa sebelum divonis kanker, ia sudah menutup beberapa perusahaannya. Hal itu tidak disesalinya. Ia justru bersyukur. Katanya, jika ia tidak melakukan hal itu, pastilah semua aset perusahaannya tidak terurus dan lenyap ketika ia sakit. Secara ekonomi, kehidupannya sekarang memang tidak sejaya dulu, tetapi ia merasa bahagia dan bersyukur. Titik terendah dalam hidupnya justru menjadi puncak kehidupan yang membawanya berjumpa dengan Tujuan hidup sejati, yaitu Allah Pencipta dan Penebusnya.
Anda bebas mengomentari kisah hidup pak Panca. Namun yang paling berhak berkomentar adalah dirinya sendiri karena dialah yang mengalami dan merasakan akibat dari semua pengalaman itu. Bagi saya, bahwa puncak kehidupan justru ada di lembah kehidupan paling rendah bukanlah kontradiksi. Itu kenyataan yang dialami sebagian orang. Namun tidak semua orang yang pernah berada di lembah paling rendah mengalaminya, karena ada juga yang sudah berada pada lembah paling rendah pun tidak pernah mengalami transformasi. Mereka terus di sana dan tidak pernah bangkit lagi. Pak Panca adalah salah seorang pemenang kehidupan. * (Bong San Bun).
BBC (Blogger Bengkah Community)