Menurut Anda, puncak kebahagiaan hidup itu kapan? Apakah ketika Anda
berada di suatu tempat yang paling Anda impikan? Ketika Anda dapat
menikmati makanan yang katanya paling maknyuss? Ketika Anda bertemu
gadis atau pemuda impian Anda dan hidup bersamanya? Ketika Anda berhasil
meraih posisi karier yang Anda perjuangkan selama ini? Atau…?
Bagaimana kalau saya mengatakan bahwa ada puncak kebahagiaan hidup
yang berkebalikan seratus delapan puluh derajat dengan yang saya sebut
di atas? Ketika saya sakit parah dan berjumpa dengan Dia yang menderita.
Ketika saya menjadi bangkrut dan terpuruk namun berjumpa Dia yang
mengangkat kembali. Ketika saya ditinggalkan orang yang saya kasihi dan
berjumpa dengan Kekasih jiwa yang sejati. Ketika saya lapar dan dahaga
dan berjumpa dengan Dia yang mengenyangkan dan menyegarkan selamanya.
Banyak orang mengidamkan puncak kehidupan seperti skenario di awal. Tak
sakit, tak miskin, tak sendiri. Intinya apapun yang diinginkan hati
tercapai. Benarkah? Benarkah dengan mendapatkan semua itu menjamin
kebahagiaan hidup? Seorang berhikmat yang hidup ribuan tahun lalu—Salomo
namanya–sudah mendapatkan semua itu dalam arti berkelimpahan. Namun
apakah ia merasa itu puncak hidupnya? Tidak. Di akhir tulisannya yang
melow, ia mengatakan “semuanya sia-sia.” Apa yang salah? Ah, Salomo saja
yang salah sendiri. Mungkin Anda bisa menilainya demikian.
Saya tidak mengatakan bahwa skenario pertama salah, seolah saya
mengajak Anda hidup menderita saja. Saya bukan penganjur hidup
menderita. Saya juga senang travelling, senang kuliner meskipun bukan
seorang obsesif. Bagi saya, hidup terlalu sayang jika dihabiskan untuk
susah-susah hati saja.
Namun saya ingin mengajak Anda berpikir, bahwa bisa terjadi bahwa
puncak kebahagiaan hidup justru terjadi ketika Anda berada pada titik
paling rendah dalam hidup Anda. Titik paling rendah ternyata menjadi
titik paling tinggi. Mengapa bisa? Ini yang saya sebut paradoks. Bisa
saja jika Anda mengalami bahwa di titik paling rendah itu, justru Anda
menemukan nilai paling tinggi dari kehidupan. Di titik paling rendah
itu, Anda mengalami transformasi batin. Anda menjadi manusia baru. Anda
tentu tahu bukan bahwa sebelum menjadi kupu-kupu yang indah, ia adalah
ulat dan kepompong yang jelek.
Saya sudah sering mendengar kisah kehidupan orang yang mengalami
transformasi batin ketika ia berada di dalam lembah paling dalam. Ia
yang dulunya hidup bejat, berubah menjadi saleh. Ia yang dulunya
mementingkan diri, berubah menjadi pengasih. Ia yang dulunya keras,
menjadi lembut. Ada banyak kisah indah lainnya yang Anda pasti pernah
jumpai. Atau jangan-jangan Anda adalah salah seorang di antaranya.
Jika Anda sedang berada dalam “surga dunia” (dalam arti positif),
syukurilah, nikmatilah. Jangan lupa diri dan daratan. Jangan terbang
terlalu tinggi sampai Anda lupa bahwa Anda masih di dunia yang fana.
Ingat bahwa sasaran hidup adalah dunia yang di atas “sana.” Jangan
sampai Anda terbang terlalu jauh sampai Anda masuk ke dalam lubang hitam
(black hole).
Sebaliknya, jika Anda merasa berada dalam “neraka dunia”, jangan
meratapi nasib dan mengatakan “seandainya, seandainya.” Jangan bersungut
apalagi mengutuk. Cobalah melihat keterpurukan hidup Anda dari sudut
lain. Jangan-jangan ini saatnya Anda menemukan makna hidup sejati.
Boom!! Anda seperti membentur tembok, tetapi ternyata dibalik tembok itu
Anda melihat Terang yang sejati yang selama ini Anda nanti-nantikan
menerangi hidup Anda yang gelap. Anda berada dalam kekelaman yang
ternyata ujungnya adalah terang. Selamat datang transformasi batin. ***
(Bong San Bun).