-->
Cahaya Ilmu, Penenang Qolbu

Mecari cahaya dalam cahaya

Life At Its Best (Puncak Kebahagiaan) Bagian-1


Menurut Anda, puncak kebahagiaan hidup itu kapan? Apakah ketika Anda berada di suatu tempat yang paling Anda impikan? Ketika Anda dapat menikmati makanan yang katanya paling maknyuss? Ketika Anda bertemu gadis atau pemuda impian Anda dan hidup bersamanya? Ketika Anda berhasil meraih posisi karier yang Anda perjuangkan selama ini? Atau…?
Bagaimana kalau saya mengatakan bahwa ada puncak kebahagiaan hidup yang berkebalikan seratus delapan puluh derajat dengan yang saya sebut di atas? Ketika saya sakit parah dan berjumpa dengan Dia yang menderita. Ketika saya menjadi bangkrut dan terpuruk namun berjumpa Dia yang mengangkat kembali. Ketika saya ditinggalkan orang yang saya kasihi dan berjumpa dengan Kekasih jiwa yang sejati. Ketika saya lapar dan dahaga dan berjumpa dengan Dia yang mengenyangkan dan menyegarkan selamanya.

Banyak orang mengidamkan puncak kehidupan seperti skenario di awal. Tak sakit, tak miskin, tak sendiri. Intinya apapun yang diinginkan hati tercapai. Benarkah? Benarkah dengan mendapatkan semua itu menjamin kebahagiaan hidup? Seorang berhikmat yang hidup ribuan tahun lalu—Salomo namanya–sudah mendapatkan semua itu dalam arti berkelimpahan. Namun apakah ia merasa itu puncak hidupnya? Tidak. Di akhir tulisannya yang melow, ia mengatakan “semuanya sia-sia.” Apa yang salah? Ah, Salomo saja yang salah sendiri. Mungkin Anda bisa menilainya demikian.
Saya tidak mengatakan bahwa skenario pertama salah, seolah saya mengajak Anda hidup menderita saja. Saya bukan penganjur hidup menderita. Saya juga senang travelling, senang kuliner meskipun bukan seorang obsesif. Bagi saya, hidup terlalu sayang jika dihabiskan untuk susah-susah hati saja.
Namun saya ingin mengajak Anda berpikir, bahwa bisa terjadi bahwa puncak kebahagiaan hidup justru terjadi ketika Anda berada pada titik paling rendah dalam hidup Anda. Titik paling rendah ternyata menjadi titik paling tinggi. Mengapa bisa? Ini yang saya sebut paradoks. Bisa saja jika Anda mengalami bahwa di titik paling rendah itu, justru Anda menemukan nilai paling tinggi dari kehidupan. Di titik paling rendah itu, Anda mengalami transformasi batin. Anda menjadi manusia baru. Anda tentu tahu bukan bahwa sebelum menjadi kupu-kupu yang indah, ia adalah ulat dan kepompong yang jelek.
Saya sudah sering mendengar kisah kehidupan orang yang mengalami transformasi batin ketika ia berada di dalam lembah paling dalam. Ia yang dulunya hidup bejat, berubah menjadi saleh. Ia yang dulunya mementingkan diri, berubah menjadi pengasih. Ia yang dulunya keras, menjadi lembut. Ada banyak kisah indah lainnya yang Anda pasti pernah jumpai. Atau jangan-jangan Anda adalah salah seorang di antaranya.
Jika Anda sedang berada dalam “surga dunia” (dalam arti positif), syukurilah, nikmatilah. Jangan lupa diri dan daratan. Jangan terbang terlalu tinggi sampai Anda lupa bahwa Anda masih di dunia yang fana. Ingat bahwa sasaran hidup adalah dunia yang di atas “sana.” Jangan sampai Anda terbang terlalu jauh sampai Anda masuk ke dalam lubang hitam (black hole).
Sebaliknya, jika Anda merasa berada dalam “neraka dunia”, jangan meratapi nasib dan mengatakan “seandainya, seandainya.” Jangan bersungut apalagi mengutuk. Cobalah melihat keterpurukan hidup Anda dari sudut lain. Jangan-jangan ini saatnya Anda menemukan makna hidup sejati. Boom!! Anda seperti membentur tembok, tetapi ternyata dibalik tembok itu Anda melihat Terang yang sejati yang selama ini Anda nanti-nantikan menerangi hidup Anda yang gelap. Anda berada dalam kekelaman yang ternyata ujungnya adalah terang. Selamat datang transformasi batin. *** (Bong San Bun).